Dari Kepala Sekolah Ke Guru Trisnatun Purna Tugas Dengan Karya Sastra

Dari Kepala Sekolah ke Guru, Trisnatun Purna Tugas dengan Karya Sastra

Dari Kepala Sekolah ke Guru, Trisnatun Purna Tugas dengan Karya Sastra

Deras hujan turun di Ajibarang pada sore yang mestinya biasa saja, namun di sebuah rumah seorang guru, hujan itu justru menjadi musik pengiring sebuah peristiwa penting: pelepasan Kepala SMP Negeri 1 Cilongok, Bapak Trisnatun, M.Pd., yang resmi memasuki masa purna tugas.

Bukan aula megah, bukan pula ruangan resmi yang kaku, melainkan rumah sendiri yang beliau pilih sebagai ruang perjumpaan. Di sana, tidak ada meja dan kursi. Para tamu duduk dilantai yang dihampari tikar. Makan siang bersama, minum teh dan kopi hangat. Para tamu datang beberapa menenteng payung yang baru saja dilipat. Namun wajah mereka berseri-seri, seolah hujan hanyalah jeda kecil sebelum perayaan.

Puisi sebagai Perpisahan

Alih-alih protokoler penuh formalitas, acara ini dirancang sebagai pesta literasi. Trisnatun—yang di kalangan komunitas literasi dikenal dengan nama pena Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja—memilih melepas jabatan kepala sekolah dengan meluncurkan buku kumpulan puisi terbarunya, “Sekolahnya Para Kethek.”

Judul itu terdengar nakal, satir, bahkan provokatif. Namun di baliknya tersimpan refleksi panjang tentang wajah pendidikan kita—sebuah dunia yang kadang tergesa-gesa, kadang lucu, kadang getir, dan sering kali menyimpan ironi.

Sebanyak 16 puisi dibacakan sore itu. Ada yang lirih, ada yang penuh tawa, ada pula yang menyentuh renungan paling dalam. Para pegiat Komunitas Sastra Pinggiran—Wanto Tirta, Hamidin Krazan, dan Rahmat Purwanto—ikut memberi nyawa pada kata-kata dengan gaya khas mereka. Ruang tamu yang sederhana berubah menjadi panggung kecil di mana puisi bukan sekadar teks, melainkan napas.

Guru Membaca Puisi

Momen paling menggelitik justru lahir dari para guru sendiri. Selama ini mereka lebih akrab dengan papan tulis dan buku nilai. Tetapi hari itu, mereka didorong untuk naik panggung membacakan puisi. 
Suwanto dan Rusdiyanto, dua orang guru senior, berduet membaca puisi dengan polos mengaku, “Selama jadi guru, sudah hampir pensiun, baru kali ini saya ‘dipaksa’ baca puisi.” Ucapan itu disambut riuh tawa dan tepuk tangan—puisi, rupanya, bisa menjembatani keseriusan dunia sekolah dengan kegembiraan yang tak terduga.

Ketua komite sekolah pun ikut memberi kesan. Arismanto menyebut pertemuan itu sebagai momen yang istimewa. “Kami ikut bangga dengan pertemuan akhir yang berkesan ini. Semoga dapat menginspirasi untuk kegiatan literasi,” katanya.

Jejak yang Tertinggal

Bagi Trisnatun, sore itu bukan sekadar ucapan perpisahan. Ia berbicara dengan suara tenang, tetapi sarat makna. “Saya bersyukur dan berterima kasih atas semua kerja sama rekan kerja di SMP N 1 Cilongok. Kebersamaan inilah yang membuat langkah saya ringan kembali ke ruang kelas sebagai guru,” ucapnya.

Kalimat sederhana itu seperti penutup bab, sekaligus pembuka bab baru. Ia meninggalkan kursi kepala sekolah, tetapi bukan berarti meninggalkan pengabdian. Ia kembali ke kelas, kembali menjadi guru, kembali ke dunia awal yang sesungguhnya paling ia cintai: ruang belajar bersama murid-murid.

Hujan, Kopi, dan Puisi

Tiga jam berlalu tanpa terasa. Di luar, hujan masih jatuh dengan riuh. Tetapi di dalam rumah, hujan itu berubah menjadi harmoni yang memperdalam suasana. Puisi-puisi mengalir, tawa pecah di sela jeda, dan kopi hangat menemani percakapan.

Pelepasan kepala sekolah biasanya diwarnai pidato panjang, daftar prestasi, dan ucapan selamat tinggal. Tetapi sore itu berbeda. Yang tertinggal bukanlah angka atau piagam, melainkan kata-kata. Kata-kata yang ditulis, dibacakan, ditertawakan, bahkan dipaksakan keluar dari mulut guru yang tak biasa bersajak.

Lebih dari Perpisahan

Acara ini akhirnya bukan hanya tentang pelepasan seorang kepala sekolah. Ia menjelma menjadi simbol lain: bahwa kepemimpinan sejati bukan berhenti pada jabatan, melainkan terus hidup dalam karya.

Trisnatun pergi dari ruang kepala sekolah, tetapi ia kembali dengan wajah lain: guru sekaligus penyair, pegiat literasi yang percaya bahwa kata-kata bisa menjadi api kecil yang menyalakan semangat.

Dan dari rumah sederhana yang diguyur hujan sore itu, lahir jejak yang mungkin lebih abadi ketimbang sekadar upacara: keyakinan bahwa pendidikan bisa ditopang bukan hanya oleh aturan dan angka, tetapi juga oleh puisi, tawa, dan persaudaraan.

Cilongok, 30 Sept 2025

Tuliskan Komentar Anda

Komentar
  1. Wanto tirta says:

    Acara lepas jabatan kepala sekolah yg Unik, ceria, guyon, kekeluargaan namun bermakna cukup dlm. Dari wajah mereka tampak ceria tanpa beban. Bahkan sy ikut merasakan betapa hubungan yg dekat saat bertugas terlihat. Ceplas ceplos dlm candaan sbg penanda komunikasi berjalan sebagaimana dlm keluarga. Selamat utk Kang Trisnatun Abuyafie Ranaatmaja telah sukses melewati tugas dg tanggungjawab yg sangat berat sbg kepsek. Alhamdulillah sekarang kembali menjadi guru. Semoga ananah dan berlimpah berkah, aamiin

    1. Admin

      Terima kasih banyak atas doa dan apresiasi yang hangat. Benar sekali, acara perpisahan ini penuh keceriaan, kehangatan, dan rasa kekeluargaan yang tulus. Pak Trisnatun telah memberikan teladan kepemimpinan dengan penuh tanggung jawab. Semoga beliau selalu diberi kesehatan, keberkahan, dan kekuatan untuk terus berkarya sebagai pendidik. Aamiin

  2. Mulyadi says:

    Sebuah kehormatan bukan karena jabatan dan jauh dari kemunafikan mugi barokah