Lonceng Usai Berdentang Cimplung Hilang

Lonceng  Usai Berdentang : Cimplung Hilang?

Lonceng  Usai Berdentang : Cimplung Hilang?

Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja

Saat satu episode berakhir, kemarin seketika menjelma masa silam yang tak bisa diulang. Ruang-ruang kelas yang dulu riuh dengan suara tawa dan cita-cita kini seperti menyimpan gema langkah yang kian menjauh. Tinggal kenangan yang terpatri di hati—kenangan yang menolak pudar meski waktu menyalakan lampu senja.

Otak kerap mengembara: esok seperti apa? Jawabannya tetap misteri. Layaknya ranting yang retak dan daun-daun yang berderak jatuh di pelataran sekolah, kita tak pernah benar-benar tahu dari mana angin akan bertiup. Regulasi datang, aturan berubah, dan perjalanan yang kita jaga dengan sepenuh jiwa mendadak harus berhenti di sebuah titik yang tak kita pilih.

Namun dari ketidakpastian itulah harapan bersemi. Saya percaya tunas-tunas baru akan kembali tumbuh dari pucuk yang pernah terpenggal. Setiap guru yang dulu kita rangkul, setiap murid yang pernah kita damping, adalah benih kehidupan yang akan terus menyalurkan air mata dan doa menjadi kekuatan.

Tiga tahun delapan bulan bukan sekadar hitungan kalender. Ia adalah mozaik: senyum anak-anak yang pertama kali berani tampil di depan kelas, rapat dinas yang penuh perdebatan tapi juga tawa, hujan deras yang memaksa kami menggeser kursi ke sudut-sudut aman dan menunda waktu pulang. Semua itu adalah riwayat yang menyala dalam batin, tak lekang oleh surat keputusan apa pun. Kita telah bertumbuh menjadi team work yang solid dan guyub rukun.

Dan di antara mozaik itu, ada satu mimpi yang masih basah: Eksplorasi CIMPLUNG. Sebuah gagasan yang lahir dari obrolan panjang di teras sekolah, dari kegelisahan mencari pembelajaran yang benar-benar memerdekakan dan mendalam.  CIMPLUNG bukan sekadar akronim—Contextual, Inovatif, Menggembirakan, Produktif, Literate, Understanding, Growth Mindset—ia adalah cara pandang. Sebuah ajakan untuk belajar dari bumi Cilongok sendiri: dari sawah dan ladang,dari danau yang menyalurkan hikmah ketekunan, dari sungai yang mengajarkan arus keberanian, dari cerita rakyat yang menanamkan kebijaksanaan.

Tim kreatif kurikulum sudah terbentuk dengan rapi. Saya sangat berterimakasih sepenuh hati. Semangat guru-guru muda menyalakan obor, kegiatan awal terasa begitu asyik: anak-anak menulis kisah lokal, menanam, meneliti, tertawa, tentu menangis juga karena perih hati terlecut cemethi.  

Rasanya seperti menonton matahari terbit dari balik bukit—hangat, penuh janji. Lalu datanglah surat keputusan pemberhentian. Seketika ritme yang sudah menemukan musiknya menjadi morak-marik. Saya bertanya dalam hati: Akankah CIMPLUNG terus melangkah, atau perlahan dilupakan tanpa kepedulian?

Perpisahan memang menorehkan luka halus, lembut sekaligus dalam. Ada sedih yang menahan napas, ada haru yang melelehkan hati. Tetapi di balik air mata, saya menemukan rasa syukur yang dalam—syukur karena telah diberi kesempatan menabur, menumbuhkan, dan menyaksikan anak-anak Cilongok menyalakan pelita mereka sendiri.

Regulasi periodisasi Kepala Sekolah kemudian menutup bab ini secara resmi. Tugas saya pun berakhir, dan takdir mengarahkan langkah kembali ke SMP Negeri 2 Ajibarang—tempat yang dulu pernah saya pimpin, kini saya masuki lagi sebagai guru. Pulang ke “habitat lama” bukan perkara sederhana. Sekolah itu telah bertumbuh, berubah, menulis babnya sendiri tanpa saya. Wajah-wajah baru, budaya kerja yang berbeda, ritme yang tidak lagi sama.

Di sinilah tantangan itu menunggu: bagaimana mengelola energi untuk kembali fokus pada pelayanan murid sebagai guru, setelah sekian lama berpikir dan bertindak dalam skala sekolah. Dari langit yang dulu saya pandang sebagai kepala nakhoda, kini saya menunduk kembali menatap wajah-wajah muda yang menanti bimbingan langsung. Ada kerendahan hati yang harus dipelajari ulang, ada seni mendengar yang mesti diasah kembali, ada kegembiraan kecil yang perlu dirayakan setiap hari di kelas.

Akhir sejati, entah itu kematian atau sekadar pergantian peran, selalu menguji makna yang kita tinggalkan. Saya hanya berharap kenangan ini akan tetap hidup di lorong sekolah kita: di papan tulis yang pernah kita coret bersama, di halaman sempit yang pernah kita hijaukan kemudian kita keramik. Selalu ada harap baik di setiap doa yang kita bisikkan untuk masa depan yang lebih baik. Dan semoga, di ruang guru atau di sudut perpustakaan, masih ada suara kecil yang berkata, “Mari kita lanjutkan CIMPLUNG.”

Terima kasih kepada semua: guru, tenaga kependidikan, para orang tua, pengurus komite dan terutama murid-murid tercinta. Kalian adalah alasan setiap langkah terasa berarti. Bila kelak nama saya tinggal catatan di arsip sekolah, semoga yang tertinggal bukan sekadar tanda tangan, melainkan jejak kisah, tali kasih, dan semangat belajar, serta cita-cita yang tak pernah selesai.

Hari ini saya melangkah pergi bukan untuk mengakhiri, melainkan untuk memberi ruang bagi babak baru. Dan saya percaya, selama kenangan kita saling menjaga, perpisahan hanyalah jeda yang mengantar pada keabadian.

"terguyur oleh limpahan ketulusan 
cinta, kenangan  dan rasa persaudaraan
hari ini senja terasa terang
kekeringan jiwa berubah telaga
bening sejuk dan segar
seluruh semesta rasa bergetar
menyelam di kedalaman al- kautsar
Allahu akbar!"

Inilah catatan akhir saya di SMP N 1 Cilongok, sekaligus catatan akhir tugas saya sebagai Kepala Sekolah. 
Allah selalu maha baik dan maha asyik. Alhamdulillah.

Ajibarang (Sepulang dari Gucci Forest)

28 September 2025

Tuliskan Komentar Anda

Komentar
  1. Sudrajat Dwi Prihanto, S.Pd.,M.Pd says:

    Selamat menempuh babak baru lagi p Tris....mohon maaf sy TDK mengucapkan di grup....karena saya juga lagi menunggu kapan vonis itu diketok, untuk saya dan teman2....bersepuluh....tapi yg jelas dan pasti salah satu figur inspirasi untuk suatu perubahan dengan goresan pena....guru yg baik dan mengasyikkan dengan sentuhan nuraninya...