Karawitan Rasa Manunggal Smpn 1 Cilongok Harmoni Gending Dolanan Di Era Modern

Karawitan Rasa Manunggal SMPN 1 Cilongok, Harmoni Gending Dolanan di Era Modern

Karawitan Rasa Manunggal SMPN 1 Cilongok, Harmoni Gending Dolanan di Era Modern

Pada Senin, 11 Agustus 2025, suasana di SMP Negeri 1 Cilongok berbeda dari biasanya. Sejak pagi buta, para siswa yang tergabung dalam kelompok karawitan Rasa Manunggal tampak penuh semangat. Hari itu mereka bersiap menuju studio RRI Purwokerto untuk merekam penampilan istimewa yang sudah lama mereka nantikan. Sebuah bus mikro menjadi saksi perjalanan mereka. Suara mesin yang menderu berpadu dengan tawa riang para siswa yang mengenakan seragam rapi. Sepanjang perjalanan, mereka sesekali melantunkan gending hasil latihan, seakan ingin memanaskan suasana sebelum benar-benar tampil di ruang siar. Wajah mereka memancarkan optimisme, sebuah bukti nyata bahwa mereka datang bukan hanya untuk menabuh gamelan, melainkan juga membawa misi mulia: mengenalkan kembali seni karawitan kepada khalayak luas. Rekaman ini direncanakan akan ditayangkan secara luas pada Minggu, 31 Agustus 2025, sehingga masyarakat dari berbagai kalangan dapat menikmati indahnya gending dolanan yang mereka mainkan.

Di tengah derasnya arus modernisasi, langkah para siswa ini terasa begitu berharga. Mereka memilih jalan yang tidak biasa. Jika sebagian besar anak seusia mereka lebih akrab dengan layar gawai, lebih sering mendengarkan musik-musik populer dari Spotify, YouTube, atau TikTok, maka kelompok karawitan ini justru memutuskan melestarikan budaya Jawa melalui gamelan. Bagi mereka, karawitan bukan sekadar ekstrakurikuler sekolah, melainkan sebuah cita-cita, sebuah panggilan hati untuk menjaga warisan leluhur agar tidak punah digerus zaman. Bak gayung bersambut, keuletan dan semangat itu mendapat apresiasi ketika Rasa Manunggal diundang untuk tampil di studio RRI Purwokerto. Undangan ini menjadi sebuah pengakuan bahwa upaya kecil mereka layak mendapatkan panggung besar.

Penampilan Rasa Manunggal di RRI Purwokerto hari itu memang bukan penampilan biasa. Mereka mempersembahkan sepuluh gending dolanan anak yang sarat makna dan nilai budaya: Menthog-menthog, Kupu Kuwi, Buto-buto Galak, Kae Lho Kae, Jamuran, Lir Ilir, Ayo Podo Dolanan, Kembang Jagung, Kowe Wasis, dan Gugur Gunung. Bagi sebagian orang dewasa, deretan gending ini tentu tidak asing. Nada-nadanya pernah menghiasi masa kecil mereka, sering dinyanyikan sambil bermain tradisional bersama teman sebaya. Gending itu dahulu akrab terdengar dari siaran radio, menghadirkan suasana akrab dan penuh nostalgia. Namun bagi generasi muda sekarang, gending dolanan justru membuka jalan baru untuk memahami filosofi Jawa yang mendalam: tentang arti kebersamaan, nilai kesederhanaan, pentingnya kerja sama, dan cinta terhadap lingkungan.

Salah satu anggota kelompok karawitan, Keysha, dengan jujur menyampaikan alasannya memilih mengikuti ekstrakurikuler ini. “Kenapa saya memilih ekskul karawitan, karena saya ingin melestarikan budaya Jawa yang saat ini belum banyak anak yang mengetahui apa itu budaya karawitan,” ungkapnya dengan penuh keyakinan. Ucapan sederhana itu menunjukkan bahwa di balik tabuhan gamelan, tersimpan tekad besar seorang anak muda yang ingin menjaga warisan budaya bangsanya. Bagi Keysha dan kawan-kawannya, menabuh gamelan bukan sekadar keterampilan seni, melainkan tanggung jawab moral terhadap sejarah.

Latihan karawitan sendiri bukanlah hal yang ringan. Bukan hanya soal menghafal tabuhan atau menyesuaikan suara gamelan dengan tempo. Ada nilai-nilai luhur yang terselip dalam setiap prosesnya. Datang tepat waktu untuk berlatih melatih kedisiplinan. Menabuh gamelan dengan penuh konsentrasi menumbuhkan rasa tanggung jawab. Menyelaraskan nada antar instrumen mengajarkan arti kerja sama dan kebersamaan. Semua ini menjadikan karawitan sebagai media pendidikan karakter yang sesungguhnya. Para siswa tidak hanya belajar memainkan musik, tetapi juga belajar bagaimana membangun diri menjadi manusia yang utuh.

Pembina ekstrakurikuler karawitan SMPN 1 Cilongok, Bapak Suwanto, S.Pd., menegaskan bahwa karawitan adalah bagian penting dari upaya melestarikan budaya yang hampir punah. Dalam keterangannya, beliau menyampaikan, “Kami akan menampilkan sekitar sepuluh lagu atau gending dolanan yang mana saat ini lagu-lagu dolanan anak-anak masa lalu itu sudah jarang dimainkan anak-anak jaman sekarang, sehingga dengan adanya kesempatan untuk mengembangkan seni karawitan di sekolah kami, anak-anak menjadi sangat senang dan tentunya supaya siswa berperan dalam melestarikan budaya khususnya seni karawitan.” Ucapan itu memperlihatkan betapa besar tanggung jawab seorang pendidik, bukan hanya mengajar ilmu, tetapi juga mengawal kelestarian budaya bangsa.

Pengalaman tampil di studio RRI Purwokerto tentu meninggalkan kesan yang mendalam bagi siswa maupun guru pendamping. Sambutan hangat dari pihak RRI menambah semangat mereka. Informasi tentang jadwal penyiaran semakin meneguhkan rasa bangga bahwa karya mereka akan benar-benar sampai ke telinga masyarakat luas. Bagi pihak sekolah, kesempatan ini merupakan bentuk apresiasi yang sangat berharga. Rasa terima kasih pun mereka sampaikan atas dukungan yang diberikan, karena melalui siaran radio, gending dolanan bisa kembali dikenal, didengarkan, bahkan dicintai oleh masyarakat. Perlahan namun pasti, apa yang dilakukan siswa SMPN 1 Cilongok menjadi bukti nyata bahwa budaya tidak akan hilang selama ada yang merawat.

Namun di balik kebahagiaan itu, kita perlu bercermin pada kenyataan yang ada. Generasi muda saat ini hidup dalam dunia yang serba digital. Lagu-lagu populer dari berbagai belahan dunia bisa dengan mudah masuk ke telinga mereka melalui media sosial. Instagram, TikTok, Spotify, dan YouTube menjadi ruang utama hiburan. Sementara itu, karawitan semakin tenggelam oleh zaman, hanya sesekali muncul dalam festival atau acara formal. Bagi orang dewasa, gending dolanan adalah bagian dari masa kecil yang indah. Namun apakah hal yang sama dirasakan anak-anak sekarang? Jika anak-anak hari ini tidak lagi mengenal gending dolanan, bagaimana dengan cucu dan cicit kita kelak? Apakah mereka hanya akan melihat gamelan di museum atau membaca tentang karawitan di buku sejarah? Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya menggugah kesadaran kita.

Melestarikan warisan budaya adalah tanggung jawab bersama. Sekolah melalui kegiatan ekstrakurikuler karawitan sudah mengambil peran besar. Orang tua yang mendukung dan memfasilitasi anak-anaknya juga ikut menjaga keberlangsungan budaya ini. Siswa yang memilih bergabung dalam karawitan, meski mungkin berbeda jalur dari teman sebayanya, sesungguhnya sedang menjadi agen pelestari budaya. Sementara masyarakat luas dapat turut serta dengan memberikan ruang bagi gending dolanan untuk hidup kembali, baik melalui siaran media massa, pertunjukan seni, maupun dukungan di ruang publik. Jika kolaborasi ini berjalan konsisten, maka seni karawitan tidak akan pernah lapuk dimakan waktu.

Penampilan Rasa Manunggal SMP Negeri 1 Cilongok di RRI Purwokerto menjadi bukti bahwa menjaga budaya bukanlah sekadar wacana, melainkan tindakan nyata yang dilakukan dengan penuh cinta. Gending dolanan yang mereka tabuh bukan hanya irama musik, melainkan denyut nadi peradaban yang masih bergetar hingga hari ini. Harapannya, suara gamelan yang mengalun dari studio RRI tidak berhenti sebagai hiburan sesaat, tetapi menjadi pengingat bahwa kita memiliki warisan agung yang patut dijaga. Dengan dukungan sekolah, para siswa, orang tua, dan masyarakat, semoga seni karawitan tetap lestari, terus menggema di seluruh Nusantara, dan menjadi kebanggaan Indonesia di mata dunia.

Penulis : Arfi Dwi Nurfatimah, Guru SMP Negeri 1 Cilongok

Tuliskan Komentar Anda