Refleksi Seorang Pendidik yang Masih Belajar Menjadi Manusia
Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja
1. Menjadi Bijak, Bukan Sekadar Pandai
Hidup adalah serangkaian pilihan. Dan di antara simpang-simpang itu, selalu ada dua jalur yang saling bertolak: menjadi bijak atau menjadi tidak bijak. Pilihan ini tidak selalu tergantung pada kecerdasan, tapi pada keberanian untuk jujur pada nurani.
Para sesepuh, cerdik pandai kita jaman dulu, sudah berpesan : "Aja nganti awak lan anakmu gelem dadi wong bodo". Jangan menjadikan dirimu dan keturunanmu bodoh—terutama dalam arti moral dan spiritual. Karena orang yang tak mau belajar dari kesalahan, hanya akan menumpuk kecerdasan tanpa arah. Artinya persoalan kedalaman dalam proses belajar kehidupan sebenarnya bukan hal baru bagi bangsa kita. Bahkan konsep hidup harus "kudu bisa manjing ajur-ajer" juga sangat berkesadaran, bermakna dan pasti menggembirakan.
Di sinilah Pembelajaran Mendalam mengambil peran: bukan hanya menjadikan murid “tahu banyak hal”, tetapi juga membuat mereka paham siapa dirinya, bagaimana ia berpikir, merasa, dan bertindak.
Beberapa waktu yang lalu kita melakukan pembelajaran dengan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Lulusan diharapkan memiliki profil sebagai manusia yang memiliki 6 sikap :
1. Beriman, bertaqwa kepada Tuhan YME , dan berakhlak mulia
2. Berkebinekaan global
3. Mandiri
4. Bergotong royong
5. Bernalar kritis
6. Kreatif
Model belajarnya kita kenal sebagai Pembelajaran Berdiferensiasi, sebuah rancangan kegiatan belajar yang di susun guru benar-benar harus mewadahi dan melayani potensi murid yang sangat beragam.
Sekarang kegiatan belajar disesuaikan dengan Dimensi Profil Kelulusan, anak-anak dididik untuk memiliki sikap :
1. Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan YME
2. Kewargaan
3. Penalaran kritis
4. Kreativitas
5. Kolaborasi
6. Kemandirian
7. Kesehatan
8. Komunikasi
Kita mendesain kegiatan belajar mengacu pada kerangka Pembelajaran Mendalam (Deep Learning) yang jelas memiliki perbedaan dengan pembelajaran berdiferensiasi. Artinya, secara real guru harus terus belajar dan menyambut pernyelarasan kurikulum ini.
Dimensi-dimensi inilah yang menyatukan kebijaksanaan dengan pengetahuan, rasa dengan nalar, akhlak dengan keterampilan hidup di masa abad 21. Guru harus menemani tumbuh kembang murid menyambut masa depan mereka. Perubahan dimensi profil kelulusan dari 6 menjadi 8 disepakati bukan sebagai perubahan kurikulum. Hanya perubahan pilihan diksi sajakah(?). Dampak perubahan kecil ini sesungguhnya dan sebenarnya sangat banyak yang harus menyesuaikan. Perubahan itu tidak menjadi masalah bagi para guru yang sudah sangat biasa menghadapi perubahan. Saya berpikir para guru di negeri ini adalah kelompok komunitas manusia yang paling berpola pikir bertumbuh. Apa sebabnya? karena bahkan tak pernah punya kesempatan untuk memilih pola pikir tetap. Para guru yang beriman meyakini bahwa belajar itu kewajiban dan akan meninggikan derajat manusia.
"Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat."
(QS. Al-Mujadilah: 11)
2. Menjadi Teladan, Bukan Sekadar Contoh
Teladan adalah energi yang menular. Ia tak perlu diumumkan. Ia terasa. Seperti embun di pagi hari yang tak terdengar jatuhnya, tapi menyegarkan daun-daun.
Seorang pendidik tak hanya memberi instruksi, tapi membangun inspirasi. Menjadi teladan berarti menjalani nilai-nilai yang diajarkan, dalam tutur, sikap, dan keputusan-keputusan kecil. Di sinilah Profil Kelulusan menjadi arah: kita mendidik anak-anak untuk bukan hanya “menjadi pintar” tapi “bernilai”, dalam arti utuh sebagai pribadi.
3. Mengajarkan Kema‘rifatan, Bukan Sekadar Syariat
Pendidikan yang hanya mengajarkan syariat tanpa membuka pintu ma‘rifat, ibarat menyiram akar tanpa peduli pada cahaya. Ia tumbuh, tapi kerdil. Maka, dalam pendidikan masa kini, kita tak cukup hanya menyampaikan aturan dan isi kurikulum. Kita perlu mengantar anak-anak kepada pengenalan yang dalam atas dirinya, sesamanya, dan Tuhannya.
Project-based learning dan inquiry learning hanya akan berarti jika prosesnya menjadikan anak sadar atas peran dirinya di dunia. Di sinilah nilai-nilai seperti berakhlak mulia, mandiri, dan berjiwa kepemimpinan menjadi kunci.
"Barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya."
(Hadist Mauquf dalam tradisi tasawuf)
4. Mempraktikkan Apa yang Diajarkan
Anak-anak itu jernih. Mereka bisa membaca ketidaktulusan sekalipun tidak dijelaskan dengan kata-kata. Maka, jika kita bicara soal kejujuran tapi kita sendiri mencontek di rapat penilaian kinerja, anak-anak akan tahu bahwa itu bukan keteladanan, tapi hanya retorika.
Mempraktikkan apa yang kita ajarkan bukan berarti kita harus sempurna. Tapi kita harus otentik. Dalam Pembelajaran Mendalam, ini adalah prinsip authentic learning: belajar yang tak berhenti di kognisi, tapi menembus ke hati dan tindakan.
5. Menjadi Guru yang Terus Belajar
Guru yang baik bukan yang paling tahu, tapi yang paling terus belajar. Belajar dari murid, dari perubahan zaman, dari kegagalan, dari kebingungan. Maka, Guru Merdeka adalah guru yang tak berhenti bertanya: "Bagaimana caraku memahami mereka lebih baik?"
Kini kita tidak lagi berbicara hanya soal "target pembelajaran", tapi kompetensi transformatif. Maka, seorang guru juga perlu menumbuhkan delapan dimensi profil dalam dirinya sendiri—sebelum menanamkannya pada murid.
"Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat."
(HR. Al-Baihaqi)
6. Menjadi Kepala Sekolah yang Membesarkan, Bukan Membesarkan Diri
Menjadi kepala sekolah bukan soal jabatan administratif, tapi soal keberanian menjadi fondasi budaya belajar yang sehat. Ia bukan pemilik sekolah, tapi pengasuh pertumbuhan. Ia menciptakan ruang aman untuk inovasi, kesalahan, dan keberanian guru dan siswa mencoba hal baru.
Pemimpin yang membesarkan akan memupuk semua dimensi profil kelulusan melalui keputusan, kebijakan, bahkan melalui caranya menyapa staf TU dan petugas kebersihan. Ia bukan hanya merancang program, tapi menata denyut kehidupan sekolah.
"Sesungguhnya setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya."
(HR. Bukhari dan Muslim)
7. Refleksi dari Ruang Pelatihan: Ketika Makna Harus Dikejar-kejar oleh Deadline
Akhir- akhir ini kami, para pendidik: Kepala Sekolah dan guru, mengikuti pelatihan tentang Pembelajaran Mendalam. Kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh Balai Besar GTK Propinsi menyambut kebijakan baru Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah.
Ada sebuah insiden kecil yang sebenarnya kurang baik untuk diingat, Meskipun demikian tetap penting untuk ditulis sebagai catatan agar bisa dikenang dan menjadi bagian refleksi bersama,
Di session akhir sebuah kegiatan pelatihan In service 1, fasilitator muda yang sudah sama lelahnya dengan peserta, dan ingin pulang, menjelaskan kegitan RTL dan program OJT. Mungkin karena peserta sudah lelah dan kurang perhatian sehingga fasilitator mengulang beberapa kali hal yang sama. Seorang peserta yang sudah mulai tua dan kurang kompetensi teknis LMSnya, yang merasa sangat keponthal-ponthal, merasa jenuh juga dengan pengulangan penjelasan dari fasilitator.
“Bu, tolong penjelasan yang itu tidak usah diulang-ulang terus, saya belum budheg!“ Dengan nada seperti sedang poetry reading di halaman sekolah.
Tentu saja hal itu menimbulkan ketidaknyamanan bagi peserta lain dan bagi fasilitator, Sebenarnya, peserta yang menyampaikan hal itu pun menyesal apalagi tahu bahwa Fasilitator muda tersebut dulu murid dari salah satu peserta dengan drajat terbaik di kelas itu.
Hal penting dalam pembelajaran mendalam adalah menemukan kesadaran, makna dan bersikap gembira. Maka insiden itu pun perlu dicatat sebagai rekam jejak, termasuk bagian dari refleksi untuk menemukan kesadaran, makna dan tetap bergembira dalam interaksi yang tak selamanya positip.
Program Pelatihan Pembelajaran Mendalam bagi Kepala Sekolah dan guru sedang marak dilaksanakan. Sebuah program yang pada dasarnya baik. Gagasan dan tujuannya sangat menyentuh akar pendidikan masa depan—bahwa belajar itu harus reflektif, relevan, dan bermakna. Bahwa guru dan siswa harus sama-sama menjadi manusia pembelajar yang utuh.
Namun sayangnya, dalam praktiknya, pelatihan ini mengandung sejumlah kontradiksi yang terasa seperti ironi kecil di tengah ikhtiar besar.
Pertama, proses belajarnya berlangsung terlalu terburu-buru. Seperti menanam padi tapi tidak memberi waktu benihnya tumbuh. Baru saja materi mulai dicerna, sudah harus mengunggah lembar kerja secara daring. Dikejar-kejar tenggat, bukan didorong oleh keingintahuan. Waktu untuk merenung, berpikir pelan-pelan, hampir tak ada.
Kedua, tekanan pelatihan terasa berat, bukan karena kami “baper” atau kurang tangguh. Tapi karena ruang belajar yang seharusnya membebaskan justru terasa sempit. Akibatnya, banyak jawaban pada lembar kerja bukan hasil refleksi pribadi atau buah diskusi kelompok yang mendalam, tapi hanya salinan dengan sedikit modifikasi dari kelompok lain. Sekadar memenuhi tugas. Sekadar lulus. Sekadar selesai.
Ketiga, kami mulai meragukan capaian dari pelatihan ini sendiri. Apakah tujuannya betul-betul dicapai? Atau hanya sebagai bagian dari proyek yang perlu selesai secara administratif?
Rasanya, makna yang seharusnya hadir dalam Pembelajaran Mendalam malah tercecer di antara dokumen dan upload sistem.
Namun… meski begitu, kami tidak ingin berhenti berharap. Karena justru dari situ kami belajar. Bahwa makna bukan selalu bisa diberikan oleh pelatihan. Terkadang ia muncul justru ketika kita sadar bahwa pelatihan tidak cukup. Bahwa untuk menjadi lebih baik, kita memang harus bergerak dari dalam. Sendiri, kadang sunyi, kadang tanpa aplaus.
Pelatihan ini, meski banyak kekurangannya, tetap berhasil menyalakan satu hal: kesadaran kecil bahwa pendidikan akan selamanya jadi ruang perjuangan. Dan perjuangan itu kadang harus kita mulai bukan dari struktur, tapi dari laku dan niat.
Kami pulang dari pelatihan bukan membawa “jawaban yang lengkap”, tapi membawa pertanyaan yang lebih jujur. Dan bukankah itu yang paling dibutuhkan dalam pembelajaran sejati?
8. Akhirnya: Menjadi Manusia Sebelum Menjadi Apa pun
Sebelum menjadi guru, kepala sekolah, ASN, fasilitator, bahkan pemikir pendidikan—kita adalah manusia. Dan tugas utama manusia adalah tumbuh: dari gelap menuju terang, dari ragu menuju yakin, dari ego menuju kasih.
Delapan dimensi profil pelajar bukan sekadar daftar kompetensi. Ia adalah cermin: sejauh mana kita sudah menjadi manusia yang utuh?
Kalau hari ini kita belum sampai, tak mengapa. Karena menjadi teladan adalah proses. Sedikit-sedikit. Perlahan. Dengan niat yang tulus, dan cinta yang tak diburu target. Barangkali dengan terus berniat belajar tanpa henti keadaan yang saat ini kurang berubah menjadi lebih baik.
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."
(QS. Ar-Ra’d: 11)
Cilongok, 4 Agustus 2025
Tulisannya mantap, inspirif. Sudah waktunya KS dan guru berubah yg lebih baik tuk menyesuaikan tuntutan jaman. "Jadilah manusia yg baik sebelum menjadi apapun"
Terima kasih Bapak atas apresiasinya
Sepakat dan sejalan dengan pendapat pak Tris. Keren banget!!!!
Terima kasih banyak atas dukungannya
Pengin diundang cooydarat
Terima kasih, pasti akan menyenangkan dapat berdiskusi lebih lanjut
Sangat menarik dan inspiratif, terima kasih pencerahannya, semoga menjadi teladan bagi saya.
Terima kasih sudah membaca
Menjaga, bergerak Dan berubah merupakan pijakan menuju kekinian. Komitmen, Harga diri dan kejujuran harus utuh mengikuti jiwa jaman yang tak menentu. Haruslah bangun, bergerak menuju perubahan dengan kedalaman makna. maka mindfull, hadir seutuhnya secara tuma'ninah.
Terima kasih atas refleksinya Bapak
Terimakasih P bos pencerahannya, memang mau jadi apapun suatu pilihan, hanya kadang yg SDH kita pilih bisa tidak membawa kita ke yg lebih baik lagi dengan suatu sumbangsih yang tak berharga tapi dengan suatu keikhlasan....
Terima kasih sudah membaca
Kata kunci telah tetangkap *Jangan Menunggu sempurna untuk berani memulai, kesempurnaan akan didapat ketika kita berani memulai*. In 1 telah membuka pintu perubahan yakni tumbuhnya perasaan ingin lebih tahu . Keterbatasan waktu sehingga terasa harus bergerak cepat dan cepat. Pelatihan itu hanyalah berfungsi membuka katup kecil agar bisa menggali gunung raksasa yang tak kasat mata karena Tirta samudra. Berselancarlah lebih mendalam. Selamat Berselancar
Terima kasih Bapak
sangat mencerahkan
Terima kasih sudah membaca