Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja
Di tepi kademangan, serumpun bambu menegakkan punggungnya seperti pasukan upacara. Ada yang lurus, ramping, dan nyaris tanpa cela—seperti calon pejabat yang fasih mengucap visi-misi. Ada pula yang bengkok, liuknya malu-malu menolak garis lurus, seakan sengaja bernegosiasi dengan angin.
Ki Demang, sang penguasa pekarangan, selalu punya kriteria. Untuk pagar rumahnya ia hanya memotong bambu yang lurus, daging tebal, ruas keras, jarak antar-ruas bak ukuran standar sebuah peraturan daerah. Estetik, rapi, dan tentu saja menenteramkan mata para tamu yang singgah. Bambu bengkok? Ah, biarlah ia tetap di rumpun—tak pantas jadi pagar, tapi tak pernah benar-benar dibuang.
Ironisnya, bambu bengkok justru jadi favorit Ki Demang. Lentur mengikuti arah angin, tak gampang patah. Warnanya hijau segar, mirip warna mata uang yang menggoda. Rebungnya manis, mudah diatur, dan bila diperlukan selalu bisa ditekuk—tidak seperti bambu lurus yang sok tegak memegang prinsip.
Di bawah naungan daun kering, tupai, tikus, ular, kucing, burung, cacing, dan mikroba tanah berdesakan seperti rapat koordinasi tanpa jadwal. Rumpun bambu bengkok memelihara semuanya: suara gesekan batang menjadi musik latar, pupuk kompos jadi subsidi alamiah. Ekosistem itu hidup bukan karena pagar lurus yang dipamerkan, melainkan karena kelenturan yang diam-diam menjaga keseimbangan.
Ki Demang mengerti: kursi kekuasaan tak selalu butuh yang tegak lurus. Pagar bambu yang rapi hanyalah etalase. Sumber devisa sejati justru pada yang bengkok—yang bisa menyesuaikan arah angin, yang tahu kapan menunduk, kapan bergoyang, dan kapan berdiam sambil menunggu angin berikutnya.
Bisik-Bisik di Rumpun Bambu
Ki Demang mendekat, menyingkap daun-daun kering. Ia berbisik pada bambu bengkok yang rebungnya baru muncul.
Ki Demang: “Tetaplah lentur, Nak. Angin Tumenggung dari kotaraja sebentar lagi berembus. Kau tahu cara menunduk tanpa patah, kan?”
Bambu Bengkok: “Angin besar tak pernah jadi musuhku, Ki. Selama akar masih dalam, liukku jadi lagu, bukan luka.”
Ki Demang tersenyum puas. Ia lalu menatap bambu lurus yang berdiri gagah seperti prajurit parade. Suaranya berubah tajam, seperti bilah parang.
Ki Demang: “Hei, kau yang sok tegak! Terlampau congkak untuk sekadar pagar. Tapi Tumenggung suka melihat barisan rapi. Kau akan kupotong besok pagi—jadilah hiasan depan, demi citra kademangan.”
Bambu Lurus: “Aku dilahirkan untuk menjulang, Ki. Apakah lurus selalu salah?”
Ki Demang: “Bukan salah, hanya tak menguntungkan. Ketegakanmu menyaingi bayanganku. Di hadapan Tumenggung, aku harus tampak sebagai pusat segalanya.”
Parang pun terhunus. Gesekannya menyanyikan lagu kebijakan: yang lurus ditebang untuk pajangan, yang bengkok dipelihara untuk keuntungan.
Di kademangan yang gemah ripah itu, politik bukan soal siapa paling kuat, melainkan siapa paling lentur. Yang lurus jadi poster, yang bengkok jadi sumber daya. Di luar pagar, para tamu melihat ketertiban. Di dalam rumpun, Ki Demang menanam kekuasaan yang tak pernah benar-benar bisa ditebang.
Ajibarang, 27 September 2025 (02.25)
Tuliskan Komentar Anda