Bahasa adalah cermin masyarakat. Dari cara sebuah komunitas berbahasa, kita bisa melihat identitas, nilai, bahkan cara berpikir mereka. Di Indonesia, bahasa menjadi jembatan pemersatu sekaligus cerminan kekayaan budaya. Tidak hanya Bahasa Indonesia yang berfungsi sebagai lingua franca, tetapi juga ratusan bahasa daerah yang hidup di tengah masyarakat. Bahasa Jawa, dengan penuturnya yang mencapai lebih dari 80 juta orang, adalah salah satu bahasa daerah terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Ia bukan sekadar alat komunikasi, melainkan identitas kultural yang menyimpan filosofi, etika, dan tata krama luhur.
Namun, keberagaman bahasa di Indonesia menghadapi tantangan besar di tengah arus globalisasi dan teknologi digital. Anak-anak muda kini tumbuh dalam pusaran informasi global. Mereka lebih akrab dengan bahasa Indonesia dan bahasa asing, terutama Inggris, karena mendominasi media sosial, platform hiburan, dan dunia kerja. Di satu sisi, fenomena ini mempercepat keterhubungan dengan dunia luar. Di sisi lain, keberlangsungan bahasa daerah, khususnya bahasa Jawa, berada dalam posisi rentan. Pertanyaannya: akankah bahasa Jawa tetap hidup dan relevan di era digital, ataukah ia perlahan tergeser menjadi sekadar catatan sejarah?
Salah satu ancaman utama terhadap keberlangsungan bahasa Jawa datang dari globalisasi dan penetrasi teknologi digital. Media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube lebih banyak dipenuhi konten berbahasa Indonesia atau Inggris. Bahasa Jawa nyaris tidak mendapat ruang yang memadai. Anak-anak muda yang menghabiskan sebagian besar waktunya di gawai cenderung menyerap kosakata non-Jawa, bahkan kehilangan keakraban dengan bahasa ibu mereka sendiri.
Pergeseran ini juga terlihat di pedesaan, yang dulu menjadi benteng terakhir bahasa Jawa. Kini, banyak keluarga muda memilih menggunakan bahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Alasannya beragam: ingin anak lebih cepat menguasai bahasa nasional, khawatir anak kesulitan beradaptasi di sekolah, atau sekadar mengikuti tren. Akibatnya, banyak anak tidak mengenal bahasa Jawa halus (krama). Mereka mungkin paham bahasa Jawa ngoko untuk percakapan sehari-hari, tetapi asing dengan krama yang sarat nilai kesopanan. Kehilangan krama berarti kehilangan tradisi menghormati orang tua, guru, dan orang yang lebih tua, sebuah nilai luhur yang menjadi inti budaya Jawa.
Dalam situasi seperti ini, keluarga menjadi fondasi utama dalam mempertahankan bahasa Jawa. Rumah adalah sekolah pertama, dan orang tua adalah guru pertama bagi anak-anak. Penggunaan bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari di rumah adalah langkah paling sederhana sekaligus paling efektif untuk memastikan anak tetap mengenal bahasa ibu. Namun, sering kali orang tua sendiri merasa kurang percaya diri menggunakan bahasa Jawa halus karena terbatasnya kemampuan. Di sinilah muncul paradoks: anak-anak tidak mengenal krama karena orang tua jarang menuturkannya, sementara orang tua jarang menggunakan krama karena sudah jarang dipraktikkan.
Sekolah dapat berperan sebagai mitra strategis keluarga. Kurikulum muatan lokal Bahasa Jawa sudah ada di banyak daerah, tetapi implementasinya sering kali terbatas pada teori atau hafalan kosakata. Pembelajaran bahasa Jawa perlu dihidupkan kembali dengan pendekatan yang kontekstual dan menyenangkan. Anak-anak tidak hanya diminta menghafal arti kata, tetapi juga diajak bermain peran, mendengarkan cerita rakyat, menulis puisi berbahasa Jawa, atau bahkan membuat vlog sederhana dalam bahasa Jawa. Dengan cara ini, bahasa Jawa tidak dipandang sebagai beban akademis, melainkan pengalaman budaya yang menyenangkan.
Strategi pemertahanan bahasa Jawa tidak hanya bisa dilakukan di ruang kelas konvensional, melainkan juga melalui teknologi digital itu sendiri. Alih-alih melihat internet sebagai ancaman, ia dapat dijadikan jembatan pelestarian. Konten berbahasa Jawa bisa dikemas dalam bentuk video edukatif, cerita rakyat bergambar, atau vlog budaya. Platform seperti YouTube atau TikTok bisa dimanfaatkan untuk memperkenalkan kosakata khas Jawa, ungkapan filosofis, atau humor dalam bahasa daerah. Generasi muda yang akrab dengan dunia digital justru bisa menjadi agen pelestarian bahasa melalui kreativitas mereka.
Hasil dari upaya ini akan sangat signifikan. Pemertahanan bahasa Jawa bukan hanya soal mempertahankan kosakata, tetapi juga menjaga identitas budaya. Anak-anak akan kembali mengenal kata-kata khas yang kini mulai hilang dari percakapan sehari-hari, seperti sentong (kamar di dalam rumah), teplok (lampu minyak), atau angkringan (warung sederhana). Mereka akan memahami bahwa setiap kata membawa cerita tentang cara hidup, alat, dan kebiasaan masyarakat Jawa di masa lalu.
Lebih dari itu, penggunaan bahasa Jawa alus (krama) dapat meningkatkan sopan santun generasi muda. Krama bukan hanya variasi bahasa, melainkan manifestasi penghormatan. Dengan memahami krama, anak-anak belajar menempatkan diri, mengenali hierarki sosial, dan melatih empati. Nilai-nilai ini penting di tengah arus globalisasi yang cenderung menekankan individualisme.
Pelestarian bahasa Jawa juga berdampak pada kesinambungan lintas generasi. Jika bahasa Jawa tetap hidup dalam keluarga dan sekolah, ia akan terus diwariskan ke anak-anak berikutnya. Bahasa tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan kebanggaan. Generasi muda bisa tetap menjadi bagian dari masyarakat modern tanpa kehilangan akar budayanya.
Akhirnya, bahasa Jawa harus dipandang bukan sekadar alat komunikasi, tetapi warisan budaya yang menyimpan identitas kolektif. Menjaga bahasa Jawa berarti menjaga martabat dan sejarah masyarakat Jawa itu sendiri. Pemertahanan bahasa Jawa tidak bertentangan dengan kemajuan teknologi. Justru sebaliknya, teknologi bisa menjadi mitra strategis dalam melestarikan bahasa. Keluarga, sekolah, dan masyarakat perlu bersinergi agar bahasa Jawa tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang mengikuti zaman.
Bahasa adalah napas budaya. Jika bahasa mati, sebagian identitas bangsa ikut hilang. Karena itu, mari menjadikan bahasa Jawa bukan sekadar kenangan, melainkan bagian dari masa depan. Dengan cinta, kreativitas, dan kolaborasi, bahasa Jawa akan tetap hidup, tidak hanya di buku-buku tua, tetapi juga di layar ponsel generasi muda.
Penulis : Khamdiyani, M.Pd.
Guru SMP N 1 Cilongok
Tuliskan Komentar Anda