Apa yang Bapak Ibu rasakan apabila tiba-tiba seorang murid menyampaikan kalimat, “Saya tidak bisa bahasa Inggris, Miss”? Sebagai pendidik, mungkin kita pernah mendengar pernyataan seperti ini, bahkan di awal pertemuan semester. Jujur saja, hati saya terasa sedih mendengarnya. Bayangkan, sebelum pembelajaran dimulai, murid sudah lebih dulu merasa putus asa. Semangat yang tadinya membara untuk mengajar pun sempat goyah. Namun, apakah saya kemudian “down” begitu saja? Tentu tidak. Sebagai guru, kita justru harus memandang situasi ini sebagai sinyal penting bahwa ada hal yang harus kita gali dan pahami terlebih dahulu sebelum memulai pembelajaran.
Awal semester ganjil biasanya menjadi momentum guru memulai lembaran baru. Rencana pembelajaran telah tersusun rapi, materi siap diajarkan, dan metode pun sudah dipikirkan matang-matang. Namun, realitas di kelas tidak selalu sejalan dengan rencana. Murid datang dengan latar belakang yang beragam. Ada yang sudah memiliki pemahaman dasar, ada yang belum mengenal sama sekali, bahkan ada yang sudah menguasai materi di luar dugaan kita. Perbedaan ini membuat kita tidak bisa serta-merta menyampaikan materi begitu saja. Di sinilah pentingnya asesmen awal, sebuah langkah sederhana namun krusial untuk memetakan kemampuan murid sebelum pembelajaran dimulai.
Asesmen awal bukan sekadar formalitas di awal tahun pelajaran. Ia adalah proses untuk memahami kesiapan belajar murid, bukan untuk memberikan nilai atau label. Tujuannya adalah mengetahui sejauh mana kemampuan awal mereka, latar belakang pengetahuan yang dimiliki, serta kesiapan emosional mereka dalam menerima materi. Dengan informasi ini, guru dapat menentukan strategi, pendekatan, dan teknik pembelajaran yang paling tepat. Asesmen awal juga menjadi jembatan untuk membangun hubungan yang lebih akrab antara guru dan murid. Murid merasa diperhatikan, didengar, dan dihargai.
Bentuk asesmen awal tidak selalu rumit. Kita bisa melakukannya secara lisan melalui percakapan ringan, memberikan kuis sederhana hanya 1–2 soal, meminta murid membuat peta konsep, atau menuliskan harapan mereka di mata pelajaran tersebut. Bahkan, sesi perkenalan singkat yang hangat bisa menjadi bagian dari asesmen awal jika kita menggunakannya untuk mengamati kemampuan dan rasa percaya diri murid. Prinsipnya sederhana: memahami, bukan menilai.
Sebagai contoh, dalam pembelajaran Bahasa Inggris untuk kelas tujuh semester satu, materi pertama biasanya adalah Self Introduction atau perkenalan diri. Sebelum mengajarkan bagaimana memperkenalkan diri, saya tidak langsung masuk pada dialog. Sebaliknya, saya meminta murid membaca beberapa kosakata sederhana untuk mengecek pengucapan (pronunciation) mereka. Jika ternyata pengucapannya masih jauh dari benar, maka langkah pertama yang saya lakukan adalah memperkenalkan kembali alfabet bahasa Inggris. Murid mendengarkan lalu menirukan pengucapan yang benar. Setelah mereka lancar mengeja, barulah saya meminta mereka mengeja nama panggilan masing-masing. Ketika tahap ini sudah dikuasai, barulah materi kosakata untuk perkenalan diri diperkenalkan, lengkap dengan dialog, lagu, atau video sebagai penguat.
Di kelas delapan, saat memulai materi Procedure Text, asesmen awal saya lakukan dengan memberikan kuis ringan tentang simple present tense. Tujuannya untuk mengukur pemahaman mereka terhadap kata kerja dasar (verb base form atau V1). Jika banyak yang belum paham, maka saya tidak ragu untuk mengulang materi simple present tense terlebih dahulu. Setelah mereka menguasai V1, barulah saya memperkenalkan kosakata terkait teks prosedur dengan media seperti video “How to Make Something” atau “How to do something”. Dengan cara ini, murid tidak merasa kebingungan karena fondasi bahasanya sudah kuat.
Contoh lain adalah pada materi Recount Text di kelas delapan. Saya memberikan daftar kata kerja bentuk kedua (verb 2) dan meminta murid membacanya dengan lantang sambil menyebutkan arti. Jika mereka belum mampu, berarti saya harus mengajarkan simple past tense terlebih dahulu, baik regular verbs maupun irregular verbs. Pemahaman tentang simple past tense ini mutlak diperlukan karena recount text adalah teks yang menceritakan pengalaman masa lalu. Tanpa fondasi ini, pembelajaran akan terasa berat dan membingungkan.
Pendapat yang sejalan juga disampaikan oleh Yosua Nala Yudhisthira, S.Pd. B.Ed., yang dikutip dari laman paideia.id. Menurutnya, asesmen awal memiliki tiga tujuan utama. Pertama, menentukan titik awal pembelajaran berdasarkan kemampuan murid, sehingga kita tidak salah langkah dalam memberikan materi. Kedua, memberikan rasa aman secara emosional kepada murid karena mereka merasa dimengerti, yang pada akhirnya membuat proses belajar lebih nyaman dan menyenangkan. Ketiga, membantu menentukan tujuan belajar yang jelas, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna, sistematis, dan terarah.
Dari pengalaman saya, asesmen awal memiliki kekuatan untuk mengubah suasana kelas. Murid yang awalnya takut atau ragu bisa berangsur-angsur percaya diri ketika merasa dilibatkan dalam proses pembelajaran. Mereka tidak lagi melihat guru sebagai “pemberi tugas” semata, melainkan sebagai pendamping yang memahami kebutuhan mereka. Hal ini tidak hanya meningkatkan minat belajar, tetapi juga mempererat hubungan emosional antara guru dan murid.
Lebih jauh, asesmen awal adalah bentuk aksi pedagogis yang sejati. Ia menempatkan murid sebagai pusat pembelajaran. Guru hadir bukan sekadar menyampaikan materi, tetapi juga untuk menyapa, mendengarkan, dan menemani murid dalam proses bertumbuh. Ketika proses belajar diawali dengan saling mengenal, memahami, dan membangun rasa percaya, pembelajaran menjadi lebih menggembirakan. Materi yang disampaikan pun tidak lagi terasa sebagai beban, melainkan tantangan yang ingin ditaklukkan.
Saya percaya, pembelajaran yang bermakna selalu dimulai dari murid, bukan dari materi. Materi memang penting, tetapi akan jauh lebih efektif jika disesuaikan dengan kondisi awal murid. Asesmen awal adalah pintu yang membawa kita menuju proses pembelajaran yang adaptif, personal, dan penuh makna. Jadi, ketika kelak kita mendengar lagi pernyataan seperti “Saya tidak bisa bahasa Inggris, Miss”, kita tidak akan merasa patah semangat. Sebaliknya, kita akan melihatnya sebagai peluang untuk menggali, memahami, dan membimbing mereka hingga percaya bahwa mereka bisa.
Mari kita mulai setiap pertemuan dengan langkah sederhana namun berdampak besar: mengenali murid kita. Dengarkan mereka, pahami kebutuhan mereka, dan bangun kepercayaan diri mereka sejak awal. Karena di balik setiap murid yang berkata “Saya tidak bisa”, selalu ada potensi besar yang menunggu untuk dibangkitkan. Dan tugas kitalah, sebagai guru, untuk menyalakan api itu.
Cilongok, 7 Agustus 2025
Penulis : Witanti Azizah, S.Pd.
Guru Mata Pelajaran Bahasa Inggris SMP Negeri 1 Cilongok
Tuliskan Komentar Anda