7 Kaih Apakah Kita Benar Benar Menjalankannya

7 KAIH, Apakah Kita Benar-Benar Menjalankannya?

7 KAIH, Apakah Kita Benar-Benar Menjalankannya?

Setiap generasi memiliki tantangan tersendiri dalam menumbuhkan karakter. Di era modern ini, arus teknologi dan informasi yang bergerak begitu cepat sering kali menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, perkembangan teknologi memberi peluang untuk belajar tanpa batas. Namun di sisi lain, gawai, media sosial, dan derasnya arus informasi dapat menyeret anak-anak kita pada kebiasaan instan, gaya hidup konsumtif, serta kecenderungan meninggalkan nilai-nilai luhur. Di tengah situasi itu, muncul gagasan sederhana namun sarat makna: 7 KAIH.

Fenomena 7 KAIH mulai digaungkan di berbagai sekolah sebagai upaya membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya kebiasaan baik. 7 KAIH sendiri merupakan singkatan dari Kebiasan Anak Indonesia Hebat meliputi: Bangun pagi, Beribadah, Berolahraga, Makan sehat bergizi, Gemar belajar, Bermasyarakat, dan Tidur cepat. Tujuh kebiasaan sederhana ini dianggap mampu menata ritme kehidupan siswa agar lebih terarah, sehat, dan produktif. Namun, muncul pertanyaan reflektif: apakah 7 KAIH benar-benar dijalankan dengan sepenuh hati, atau hanya menjadi slogan indah yang menempel di dinding sekolah tanpa pernah menyentuh kesadaran anak-anak kita?

Jika kita menengok lebih dalam, 7 KAIH sesungguhnya adalah pilar pembentukan karakter yang relevan dengan 8 Dimensi Profil Lulusan. Dimensi ini menjadi kerangka kompetensi yang memastikan siswa memiliki ketrampilan hidup dan nilai moral yang dibutuhkan di era modern. Bangun pagi dan tidur cepat melatih disiplin diri, selaras dengan dimensi kemandirian. Beribadah membentuk ketakwaan dan akhlak mulia, yang sejalan dengan beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berolahraga dan makan sehat bergizi melatih anak menjaga tubuhnya, keduanya mendukung dimensi kesehatan. Gemar belajar tentu terkait dengan dimensi bernalar kritis, kolaborasi dan kreatifitas. Sementara bermasyarakat melatih keterampilan sosial dan empati, sejalan dengan dimensi kewargaan dan komunikasi. Dengan kata lain, 7 KAIH bukan sekadar slogan, melainkan jembatan sederhana menuju nilai luhur bangsa yang berimbang antara pengetahuan, karakter, dan keterampilan.

Menariknya, SMP Negeri 1 Cilongok menghadirkan inovasi melalui Jurnal 7 KAIH. Jurnal ini berfungsi sebagai catatan harian yang diisi siswa untuk merekam kebiasaan mereka terkait tujuh pilar tersebut. Setiap pagi, guru melakukan pengecekan, memberi apresiasi, sekaligus mengingatkan siswa yang belum konsisten. Pada titik ini, jurnal dapat menjadi alat kontrol yang efektif, membiasakan siswa untuk melatih kejujuran dan disiplin. Namun, di sisi lain, ada potensi risiko: jurnal bisa berubah menjadi sekadar ritual kosong. Siswa mungkin menuliskan sesuatu yang tidak sesuai kenyataan hanya demi memenuhi kewajiban administrasi. Ketika itu terjadi, esensi 7 KAIH hilang, dan yang tersisa hanyalah formalitas.

Tantangan di lapangan pun nyata adanya. Tidak semua siswa mampu konsisten menjalani 7 KAIH. Bangun pagi terkadang tergoda oleh keasyikan bermain gawai hingga larut malam. Beribadah masih ada yang terlewat karena kurangnya kesadaran. Berolahraga terkendala keterbatasan waktu dan fasilitas. Makan sehat bergizi sulit diwujudkan karena kondisi ekonomi keluarga. Interaksi sosial atau bermasyarakat pun kerap tergantikan oleh dunia maya yang membuat anak-anak lebih akrab dengan layar dibanding tetangga sebelah rumah. Realita ini menunjukkan bahwa 7 KAIH tidak bisa sekadar digembar-gemborkan, melainkan harus ditopang oleh kesadaran mendalam serta komitmen bersama antara siswa, guru, dan orang tua.

Di titik inilah jurnal harus bertransformasi, bukan hanya menjadi alat kontrol, melainkan ruang refleksi. Siswa diajak untuk menulis bukan semata-mata apa yang dilakukan, tetapi juga bagaimana perasaan mereka ketika menjalankannya. Guru berperan penting memberikan pendampingan agar setiap catatan dalam jurnal mengandung makna. Orang tua pun perlu terlibat dengan memberi teladan di rumah. Jika diintegrasikan dalam pembelajaran, jurnal dapat menjadi wahana kolaboratif yang menghubungkan dunia akademik dengan kehidupan nyata.

Harapan besar terletak pada pembiasaan 7 KAIH sebagai gerakan budaya sekolah. Sekolah memiliki tanggung jawab moral untuk menanamkan kebiasaan ini bukan hanya demi kepentingan akademis, tetapi sebagai investasi membangun generasi yang sehat jasmani, rohani, dan sosial. Bayangkan jika setiap siswa benar-benar terbiasa dengan 7 KAIH: mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang pinter, bener, dan pener. Pinter dalam kecerdasan dan kreativitas, bener dalam akhlak dan perilaku, serta pener dalam kebijaksanaan mengamalkan ilmunya di tengah masyarakat.

Seruan aksi nyata perlu digaungkan. Kebiasaan baik tidak boleh berhenti di ruang kelas atau di lembar jurnal semata. Ia harus dihidupkan dalam keseharian, di rumah, di lingkungan, hingga akhirnya membentuk budaya bangsa. Mari jadikan 7 KAIH sebagai gerakan bersama, bukan sekadar program sekolah. Karena kebiasaan kecil yang konsisten akan melahirkan perubahan besar di masa depan.

Sebagaimana pesan inspiratif yang sering kita dengar, “Jangan menunggu besok untuk menjadi hebat.” Hebat itu dimulai dari langkah sederhana hari ini—bangun pagi, beribadah, berolahraga, makan sehat, gemar belajar, bermasyarakat, dan tidur cepat. Dari tujuh kebiasaan sederhana inilah kita sedang menanam benih masa depan, demi lahirnya generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter, berjiwa sosial, dan siap menghadapi tantangan zaman.

Penulis : Franciska Romana, S.Pd.

Guru Bahasa Inggris SMP Negeri 1 Cilongok

Tuliskan Komentar Anda