Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja
Ahad pagi, 17 Agustus 2025, matahari Cilongok menyala cerah seakan ikut hormat pada merah putih. Lapangan Desa Pernasidi penuh barisan rapi—para guru dan karyawan SMP Negeri 1 Cilongok berdiri tegak mengikuti upacara detik-detik proklamasi tingkat kecamatan. Suara sang pembaca naskah proklamasi mengalun khidmat, tapi di sela khusyuk itu, pikiran sebagian orang mungkin sudah melayang ke Masjid Saka Wolulikur, membayangkan aroma tumpeng dan ayam ingkung yang menunggu.
Masjid Saka Wolulikur—anggun dengan nama yang berarti dua puluh delapan—berdiri teduh di sudut timur sekolah, menjadi pusat denyut doa. Di serambinya, empat tumpeng menunggu, menjulang seperti gunung mini. Di sekelilingnya lauk-pauk: telur bulat, urap sayur, tempe goreng, sambal terasi, dan ayam ingkung utuh—duduk pasrah seperti tengah berdoa.
Bagi orang Jawa, tumpeng bukan sekadar nasi berbentuk kerucut. Ia simbol gunung harapan. Puncaknya mengarah ke Sang Pencipta, lerengnya melambangkan perjalanan hidup—kadang menanjak, licin, atau justru menyenangkan. Tujuannya Mempeng marang Pengeran. Sebuah doa yang dibentuk dalam ujud benda. Tumpeng adalah kata-kata yang dipadatkan dan doa menjadi materi yang berupa makanan. Setelah dimakan, masuk dalam raga, materi makanan berubah menjadi energi, saat tenaga untuk beribadah maka berubah lagi menjadi "jiwa".
Lauknya pun bercerita: misal telur bulat melambangkan tekad yang utuh; sambal yang pedas adalah cobaan yang membangkitkan rasa syukur; sayur urap adalah kerukunan; tempe atau tahu lauk biasa dan sederhana, tetapi simbol dari proses panjang perjalanan kedelai sebagaimana manusia mengolah diri menjadi lembut kemudian bermanfaat lebih banyak. Berproses melembut adalah harga dan jatidiri yang tak ternilai, meskipun sederhana.
Sedangkan ingkung, dalam filosofi Jawa, adalah simbol kepasrahan total pada Gusti Allah. Ayam yang diikat kaki dan sayapnya, dibalut bumbu merata, mengingatkan bahwa hidup manusia pun dibatasi takdir, dibungkus pengalaman, lalu diserahkan kembali pada Sang Pemilik Kehidupan. Namun pasrah yang dimaksud bukanlah menyerah tanpa usaha—ia adalah pasrah sambil bekerja, seperti petani yang menanam padi tapi tetap menengadah pada hujan.
Saat doa dibacakan di masjid, semua jabatan menghilang. Kepala sekolah, guru, penjaga sekolah, dan petugas kebersihan duduk melingkar, sejajar tiada shaf depan atau belakang. Garis dalam lingkaran adalah simbol thawaf, semua manusia terhadap titik pusat kehidupan (Allah Tuhan Yang Pengasih) ada pada posisi yang sama.
Aroma nasi tumpeng dan rempah ingkung memenuhi udara, menerbitkan selera, apalagi perut lapar, sangat menggoda. Tetapi ada yang lebih terasa, bukan sekadar harapan segera makan, namun ada makna dalam hangatnya kesetaraan dan kebersamaan. Itulah salah satu rahasia mengapa makan tumpeng formasinya melingkar disebut : kepungan.
Ada pengetahuan simbolisme, di balik hidangan makanan itu, ada renungan. Makan selain mengenyangkan raga juga harus bermakna bagi jiwa.
Refleksi satire berupa keraguan untuk dunia pendidikan pun melintas, jangan-jangan dunia pendidikan kita mirip ingkung—cantik di tampah, tapi tak bisa bergerak. Guru, murid, bahkan kepala sekolah diikat oleh tumpukan dan tali temali administrasi, aturan yang kaku atau terlalu mudah berubah, lentur yang tak jelas dan bimtek atau rapat yang terlalu sering. Kadang para guru lebih sibuk membicarakan lomba ketimbang nasib anak-anak. Merdeka Belajar yang didengungkan kadang tak lebih dari slogan, karena di lapangan kita masih dijajah oleh kebiasaan lama, dan sistem yang rumit, dan dana yang jumlahnya sedikit.
Di hari setelah upacara HUT RI ke 80, kami makan bersama. Empat tumpeng dan empat ingkung hari ini memang mengenyangkan. Tapi kemerdekaan tidak boleh berhenti di perut. Merdeka yang sejati adalah ketika guru bisa mengajar dengan hati tanpa takut salah format laporan, murid belajar tanpa takut nilai, dan kepala sekolah memimpin tanpa terjebak dalam kegalauan mengambil keputusan. Sekolah harus menjadi zona yang merdeka dari berbagai tekanan dan ada kepastian perlindungan hukum bagi semua warga sekolah. Setiap guru, di jaman merdeka seharusnya bisa menjadi pribadi yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Bung Karno pernah berkata, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Mungkin di dunia pendidikan, tantangan terberat justru melawan diri sendiri—melawan malas berubah, melawan gengsi, melawan kebiasaan nyaman di zona yang itu-itu saja. Melawan tekanan ekonomi, kredit bank dan kekhawatiran masa depan anaknya sendiri.
Di Masjid Saka Wolulikur hari ulang tahun RI ke 80, kami belajar bahwa kemerdekaan bisa sesederhana duduk lesehan, makan bersama, dan saling mendoakan. Tapi ia harus dibawa pulang, dihidupi setiap hari—bukan hanya saat 17 Agustus. Sebab, tumpeng hanyalah puncak, ingkung hanyalah pasrah, dan kemerdekaan hanyalah kata—sampai kita berani menjadikannya nyata. Kepala Sekolah dan guru wajib mencerdaskan generasi muda. Guru mampu mengantar semua muridnya memasuki semesta Indonesia yang merdeka, adil dan makmur secara nyata bukan hanya mengantarkan generasi bangsa ke depan gerbang kemerdekaan. Sangat disayangkan sampai di usia 80 kemerdekaan masih banyak guru dan tenaga kependidikan yang tidak tahu apa sebenarnya yang ada dibalik pintu gerbang kemerdekaan. Meskipun ironis, dari masjid saka wolulikur, setelah makan tumpeng & Ingkung dan menyantap makna tumpeng & Ingkung, kami tetap besyukur dan lantang berteriak : merdeka!!!
Cilongok ,17 Agustus 2025
Tuliskan Komentar Anda