Surat Cinta Untuk Pramuka

Surat Cinta untuk Pramuka

Surat Cinta untuk Pramuka

Oleh: Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja

Kepada : 
Pramuka yang (dulu) kucinta,

Apa kabar? Kuharap engkau baik-baik saja—meski dari kejauhan aku melihatmu tak sebaik dulu lagi.

Bukan aku tak lagi mencintaimu, justru karena cinta itu masih hangat, aku memutuskan untuk menjaga jarak. Supaya aku tak terlalu kecewa setiap melihatmu berdiri megah tapi tanpa ruh.

Dulu kau ajarkan aku tentang Takwa, Cinta Alam, Disiplin, Patriotisme, dan Kejujuran. Sekarang, yang kulihat hanyalah parade simbol dan lomba-lomba penuh ambisi. Dulu kau ajarkan hemat, kini kau boros. Pramuka sekarang bukan lagi survivalist, tapi subscriber catering online. Makan bukan hasil jerih payah memasak sendiri, tapi tinggal klik pesan, transfer, lalu makan sambil update status: "Latihan Pramuka, lelah tapi bahagia"

Pramuka yang tanpa sholat,
Tanpa bersih,
Tanpa disiplin,
Apakah itu Pramuka yang sejati?

Di sekelilingku, kuperhatikan latihanmu makin canggih. Tapi lucunya, kau masih bangga dengan kirim pesan pakai semapur dan morse, sementara murid-muridmu sebenarnya sudah punya group WhatsApp keluarga, kelas, dan alumni yang aktif 24 jam. Kau masih sibuk menghafal sandi dan kode, tapi lupa membaca kode zaman.

Pramuka,
Kau ajarkan lambang cikal bakal manusia Indonesia.
Tapi kini, anak-anakmu tak lagi tahu arti lambang itu,
Karena yang penting: bisa menang lomba, bawa pulang piala.

Aku ingin tertawa—dengan getir—melihat kegiatanmu yang dulu sarat nilai, kini tinggal formalitas. Keterampilan khasmu? Memasak, menyetrika, gotong royong, bikin tandu, bivak alam? Hilang ditelan kurikulum yang lebih sibuk menyusun proposal lomba daripada menyusun karakter.

Oh ya, tentang lomba. Kau sekarang seperti industri lomba nasional. Pelatihmu bukan lagi guru di sekolah, melainkan "impor" dari luar, demi satu: menang lomba tingkat. Tak peduli anakmu mengerti makna dasa darma atau tidak. Yang penting: ranking.

Dan anehnya, yang paling tidak menjunjung tinggi sportivitas… adalah orang-orang dewasa yang berdiri di belakangmu. Mereka sibuk mengejar gengsi, bukan membangun karakter. Saat kalah? Protes. Saat menang? Pesta. Padahal, dulu kau ajarkan: "Pramuka sejati siap kalah, dan tetap sopan saat menang."

Kini, aku mulai bertanya:
Apakah ini Pramuka atau hanya parade nostalgia?

Sungguh ironis, ketika Dasa Darma dan Profil Pelajar Pancasila sebenarnya sangat bersenyawa.

Takwa, Gotong royong, Mandiri, Kreatif, Jujur…
Semua itu dulu sudah diajarkan Pramuka. Tapi sekarang, karena ingin tampil "baru", sekolah-sekolah menjadikanmu hanya sebagai syarat minimal ekstra. "Yang penting ada Pramuka, sudah cukup." Pramuka hanya syarat, bukan semangat.

Kadang aku berpikir, andai Drs. Mohammad Hatta masih hidup dan melihat keadaanmu, ia akan menghela napas panjang. Ia yang wafat tanpa sepatu Bally, justru mengajarkan hemat dan hidup bersahaja. Atau Agus Salim yang wafat tanpa punya rumah, tapi jadi simbol integritas bangsa. Bukankah mereka adalah wujud nyata Pramuka yang sejati—walau tak pernah pakai seragam coklat?

Pramuka,
Seandainya saja jiwamu hidup dalam anak-anak kita,
Tak perlu negeri ini berutang,
Tak akan ada korupsi,
Tak mungkin ada gaya hidup hedonis hanya untuk konten TikTok dan Reels.

Tapi lihatlah, mantan-mantan Pramukamu kini sibuk jadi broker partai. Ada yang berdasi di Senayan, tapi lupa siapa dirinya dulu saat latihan di tenda bocor, makan nasi bungkus, dan teriak "Setia, Siap!" dari hati.

Aku rindu padamu, Pramuka. Tapi aku ingin kau berubah, bukan hanya berubah baju. Aku ingin kau kembali ke hatimu yang asli. Bukan sekadar menjadi panitia lomba, tapi pelatih karakter.

Jangan ajari anak-anak berdiri tegap saat upacara,
kalau kau sendiri tak tegap melawan godaan korupsi.
Jangan ajari anak-anak menyebut dasa darma,
kalau kau sendiri sibuk main anggaran dan SPJ palsu.

Dan jangan sekali-kali mengira,
bahwa cinta ini sudah mati.
Karena aku menulis ini,
agar kelak saat kau sadar,
aku masih di sini…
menjaga cintaku padamu.
Meski dari jauh.

Salam Pramuka,
Salam Rindu,
Salam Perubahan.

Dari Seorang Pecinta yang Masih Berharap,
Pramuka tak sekadar jadi seragam dan slogan.

Padepokan Jaka Tingkir, 8 Agustus 2025

Tuliskan Komentar Anda