Oleh : Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja
Di suatu belantara yang bahkan Google Maps pun malas menamainya, sekumpulan kera besar pernah hidup damai. Mereka bukan kera sembarangan. Mereka tahu cara tertawa tanpa mencaci, bergelantungan tanpa menjatuhkan, makan pisang tanpa perlu rebutan.
Tapi semua berubah ketika seekor kera—yang ototnya segede program kerja tapi otaknya sering disubsidi—menemukan nikmatnya daging. Daging musuh yang mati. Ia mengunyah bukan sekadar lapar, tapi karena naluri ingin menang.
“Dari gigitan pertama itu,” kata Yuval Harari dalam Sapiens, “bermula kisah Homo sapiens yang suka membunuh demi klaim abstrak seperti kehormatan, agama, dan negara.”
Kera itu pun menggigit sejarah. Dan sejarah pun mulai penuh darah.
Lama-lama, kera-kera ini belajar duduk. Dari duduk, mereka belajar kursi. Dari kursi, lahirlah jabatan. Kini mereka bukan sekadar kera—mereka jadi Homo institusionalis: memakai dasi, selfie pakai baliho, dan naik mobil dengan plat nomor yang membuat rakyat minggir bukan karena hormat, tapi karena trauma.
Mereka membentuk sistem. Sistem yang katanya untuk rakyat, tapi rakyat hanya dijadikan angka statistik dan nomor KTP. Rakyat boleh punya suara, asal tidak terlalu nyaring.
Kita ini hidup di tengah hutan fiksi. Negara, hukum, bahkan Tuhan versi legislatif—semuanya rekaan.
"Sapiens mampu bekerja sama dalam jumlah besar karena mampu menciptakan dan mempercayai mitos-mitos kolektif," tulis Harari. Tapi masalahnya, mitos kini lebih kuat dari akal sehat.
Di republik ini, maling berdasi bukanlah aib. Ia dianggap 'wajar', asal berbagi hasil. Bahkan kadang disebut 'pahlawan' karena bisa menyelamatkan proyek yang hampir gagal, dengan cara mengorbankan tiga APBD dan dua generasi mendatang.
Korupsi bukan penyakit. Ia semacam adat, seperti menyuguhkan teh manis di ruang tamu. Ia sopan, sistematis, dan sah—asal tanda tangan di tempat yang tepat.
Sementara itu, rakyat menunggu bansos seperti menunggu wahyu. Mereka tidur di tenda antrian, bukan untuk ibadah, tapi karena ingin makan besok pagi. Mereka bekerja dua belas jam hanya untuk tetap hidup, bukan untuk naik kelas sosial. Yang naik justru tekanan darah dan utang digital.
Pendidikan pun jadi lelucon. Di hutan kera, siapa yang pandai memanjat akan jadi pemimpin. Tapi di republik ini, yang pandai menjilat lebih cepat naik ke puncak. Yang pintar debat ditertawakan. Yang bisa selfie sambil bagi sembako dapat panggung.
Dan ketika rakyat bertanya kenapa harga minyak goreng naik, mereka dijawab dengan pidato tentang ketahanan pangan global dan geopolitik. Padahal intinya: mereka malas kerja tapi rakus makan.
Sujiwo Tejo pernah nyindir, “Negeri ini butuh lebih banyak waras, bukan hanya pintar. Karena pintar bisa disewa, tapi waras itu langka.”
Ryu Hasan menambah bumbu: “Kita terlalu percaya pada orang-orang yang bersuara keras tapi tak pernah punya rekam medis berpikir.”
Dan begitulah kita, negara yang bingung antara memilih pemimpin atau memilih idola TikTok.
Kekuasaan itu ibarat hutan pinus yang tampak asri dari jauh, tapi dalamnya penuh ranjau. Ia mengundang, tapi juga memakan. Yang datang karena idealisme biasanya pulang dengan skandal, atau minimal akun dummy buat klarifikasi.
Mereka lupa bahwa rakyat diam bukan karena bodoh. Rakyat sabar bukan karena tak mampu. Tapi karena mereka tahu: dalam sejarah, yang tertindas tak selamanya kalah. Kadang mereka sedang menyusun amarah yang lebih rapi dari APBN.
Hanoman dalam Ramayana adalah kera, tapi bukan sembarang kera. Ia punya kesaktian, tapi tetap tunduk pada tugas. Ia tak mencuri pujian, tak mengklaim pembangunan yang bukan hasil kerjanya.
Tapi kera-kera kita hari ini? Mereka membangun jalan tol, lalu minta disebut dewa. Mereka bikin rumah sakit, lalu melempar kado dari drone seolah rakyat sedang ulang tahun.
Kita memang berasal dari kera. Tapi Harari memperingatkan: manusia tak hanya bisa mencipta, tapi juga bisa menghancurkan lewat imajinasi yang salah arah. Kita menciptakan sistem demi tertib, tapi akhirnya sistem itu jadi alat penindas. Kita menulis hukum demi keadilan, tapi hukum jadi tumpul ke atas dan tajam ke rakyat pasar.
Maka tugas kita hari ini bukan sekadar mengutuk kera yang mencuri, tapi menanam ulang pohon-pohon kejujuran yang sudah ditebang demi proyek-proyek reboisasi citra.
Kalau negeri ini adalah hutan, semoga kita bukan cuma makhluk yang bisa selfie di atas dahan. Tapi juga makhluk yang tahu bahwa tanpa akar, dahan hanya akan patah saat musim angin tiba.
Dan kalau benar kita Homo sapiens—manusia bijaksana—maka bijaksanalah juga saat memegang kuasa. Jangan hanya pandai berjanji di mikrofon. Pandailah juga mendengar bisik rakyat di lorong-lorong sunyi.
Di negeri ini, khutbah demi khutbah berkumandang setiap Jumat. Ayat suci dibacakan dengan tartil yang merdu, seperti musik langit yang turun ke bumi. Di hari-hari besar agama, para "kera" berdiri di barisan depan, bersorban rapi, bersedekah di depan kamera, menyebut nama Tuhan dengan bibir yang basah.
Tapi esok harinya, tangan yang sama meneken proyek fiktif. Lidah yang sama mencatut nama Tuhan, mencatut pula dana umat. Mereka bicara tentang surga, tapi tindakannya seperti ingin menyewa kavling di neraka.
Konon mereka rajin umrah, bahkan tiap tahun. Tapi setibanya dari Tanah Suci, yang suci hanyalah oleh-oleh. Bukan hatinya.
Agama yang seharusnya menundukkan ego, malah dijadikan tameng untuk keserakahan. Tuhan dijadikan stempel untuk membenarkan kezaliman.
“Agama sering kali lebih berhasil menyatukan manusia untuk membenci kelompok lain, ketimbang untuk mencintai sesamanya.”
— Yuval Noah Harari
Di sinilah tragedi kita. Moral diajarkan di mimbar, tapi dicampakkan di meja rapat anggaran. Pesan kasih sayang disampaikan lewat khutbah, tapi keadilan dikubur bersama kwitansi palsu dan nota kosong.
Agama seharusnya membebaskan, tapi malah jadi pelumas sistem. Para kera menyebut diri “pemimpin umat” sambil menghitung komisi dari proyek rumah ibadah yang diborong ke saudara ipar.
Jika kelak anak cucu kita bertanya:
"Apa bedanya manusia dengan kera?"
Mungkin kita akan gagap. Sebab satu-satunya perbedaan tinggal pada kemampuan kita menciptakan kebohongan yang terdengar suci. Dan kemampuan kita menyebut nama Tuhan sambil mencuri di waktu yang sama.
Kita memang diberi kitab suci. Tapi mereka, para kera itu... hanya menghafalnya. Bukan menghidupkannya.
"Manusia menciptakan makna, tapi makna yang kosong bisa menjadi senjata paling berbahaya."
— Yuval Noah Harari
Dan barangkali, itulah tragedi paling sunyi dari republik ini:
Bukan karena rakyatnya bodoh. Tapi karena yang mengaku paling tahu surga... justru yang paling tega menciptakan neraka di bumi.
Ajibarang, 7 Agustus 2025
Tuliskan Komentar Anda